Kebangkrutan Sritex dan Struktur Modal

Berita bangkrutnya Sritex itu kayak tamparan keras buat industri tekstil Indonesia.
Gimana bisa sih perusahaan segede ini tumbang? Kalau kita telusuri, akar masalahnya itu banyak banget, mulai dari utang yang makin gede sampai saingan sama produk impor.
Nah, kalau dilihat dari kacamata teori struktur modal, kita bisa belajar banyak nih dari kasus ini.
Struktur Modal: Apa yang Salah?
Struktur modal itu ibarat fondasi keuangan perusahaan. Kalau fondasinya nggak kuat, digoyang dikit aja bisa roboh.
Di dunia akademik, ada dua teori utama soal struktur modal: Modigliani-Miller (MM) sama Brusov-Filatova-Orekhova (BFO). Dua-duanya ngebahas gimana utang sama ekuitas (modal sendiri) ngaruh ke nilai perusahaan.
Teori Modigliani-Miller bilang, kalau pasarnya sempurna (nggak ada pajak sama biaya bangkrut), struktur modal itu nggak ngaruh ke nilai perusahaan. Tapi kenyataannya gimana? Perusahaan kan harus bayar pajak, ada risiko bangkrut, dan biaya utang makin mahal kalau leverage (rasio utang banding modal) ketinggian.
Nah, kalau teori BFO itu lebih realistis, soalnya ngitungin kondisi nyata kayak pajak, seringnya bayar pajak, sama efek pertumbuhan perusahaan. Teori ini nunjukkin kalau makin tinggi utang, makin gede juga risiko yang ditanggung perusahaan. Ini pas banget buat kasus Sritex.
Sritex dan Masalah Utang yang Menggunung
Sritex tumbang karena nggak bisa bayar utang sindikasi sebesar US$350 juta di tahun 2021. Padahal, sebelum pandemi aja kondisi keuangannya udah bikin was-was. Kok bisa?
- Leverage Ketinggian. Sritex mungkin mikir kalau ngutang gede bisa bikin ekspansi dan profitabilitas-nya naik. Tapi, mereka lupa kalau utang ketinggian itu malah bisa jadi bumerang, apalagi kalau arus kasnya nggak kuat buat bayar cicilan.
- Salah Strategi Ngadepin Risiko. Manajemennya gagal ngantisipasi risiko dari luar, kayak banjirnya produk impor sama perang harga yang nggak sehat.
- Dampak Pandemi sama Kenaikan Upah Minimum. Pandemi bikin kondisi yang udah jelek jadi makin parah. Dengan permintaan yang anjlok sama beban gaji yang makin gede, makin susah buat Sritex nyeimbangin neraca keuangannya.
Analisis Keuangan Sritex
Kalau kita lihat data dari id.investing.com, kita bisa lihat gimana keuangan Sritex makin jelek beberapa tahun terakhir ini:
- Total Pendapatan: Dari 1.282,57 juta USD di 2020, anjlok jadi 325,08 juta USD di 2023.
- Laba Bersih: Dari 85,33 juta USD di 2020, berubah drastis jadi -174,84 juta USD di 2023.
- Total Ekuitas: Dari 672,42 juta USD di 2020, merosot jadi -954,83 juta USD di 2023, nunjukkin kalau ekuitasnya minus.
- Arus Kas Operasional: Dari -130,08 juta USD (2020) jadi 16,9 juta USD (2023).
Pelajaran dari Kasus Sritex
Buat perusahaan lain, ada beberapa pelajaran penting nih dari jatuhnya Sritex:
- Jangan kebanyakan ngutang. Harus seimbang antara modal sendiri sama utang.
- Struktur modal itu harus fleksibel. Perusahaan mesti bisa ngikutin perubahan ekonomi.
- Manajemen risikonya harus lebih pinter. Ngantisipasi risiko dari luar kayak saingan global sama aturan pajak bisa nyelametin perusahaan biar nggak bangkrut.
Kesimpulan
Bangkrutnya Sritex itu bukan cuma cerita soal perusahaan tekstil yang nggak bisa bayar utang. Ini contoh nyata betapa pentingnya ngerti struktur modal sama manajemen risiko lebih dalem lagi.
Intinya, keuangan perusahaan itu bukan cuma soal gedein usaha sama tumbuh, tapi juga soal gimana ngelola risiko dan jaga keseimbangan antara utang sama modal. Kalau nggak hati-hati, perusahaan segede apapun bisa aja tumbang.
Referensi
- Brusov, P., & Filatova, T. (2023). Capital Structure Theory: Past, Present, Future. Mathematics, 11(3), 616. https://doi.org/10.3390/math11030616
- Ringkasan AI Google. (2024). Sritex Mengalami Kebangkrutan karena Terlilit Utang yang Tidak Dapat Dibayarkan.
- id.investing.com. (2024). Ringkasan Keuangan Sritex.