Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pentingnya Laporan Keuangan Mengikuti Kaidah Akuntansi

Pentingnya Laporan Keuangan Mengikuti Kaidah Akuntansi

Kebanyakan client saya adalah pengusaha yang menjalankan usaha dengan kategori UMKM. Beromzet rata-rata 10 hingga 40 miliar setahun. Kebanyakan, mereka tidak menerapkan kaidah akuntansi keuangan yang berlaku dalam hal pembukuan transaksi keuangannya. 

Tidak berarti yang mereka kerjakan itu salah, hanya saja, sekali lagi saya tegaskan,  tidak sesuai dengan kaidah atau standar akuntansi keuangan (SAK) yang berlaku.

Biasanya, saya mulai membenahi laporan keuangan perusahaan-perusahaan tersebut agar sesuai dengan kaidah akuntansi yang berlaku ketika perusahaan-perusahaan tersebut sudah beroperasi setidaknya selama satu setengah tahun. 

Bisa kamu bayangkan, perusahaan dengan omzet puluhan miliar, mencatat transaksi-transaksi yang terjadi hanya berdasarkan transaksi kas masuk dan kas keluar. Betapa tidak andalnya laporan keuangan yang mereka buat.

Mengapa saya katakan tidak andal?

Ya, jelas sangat tidak andal, paling tidak ada beberapa kasus yang saya temukan di lapangan yang dapat mendukung opini saya tersebut.

Pencatatan setoran modal pemegang saham yang tidak sesuai kaidah akuntansi

Boro-boro mengetahui nilai dari kekayaan perusahaan dan struktur modalnya, bahkan untuk sekedar mengetahui jumlah modal yang telah disetorkan pun mereka terkadang tidak tahu pasti. 

Ada satu perusahaan yang pernah saya tangani, di mana pada akta dasar perusahaan nilai modal dasarnya adalah sebesar 2,5 miliar, namun pada kenyataannya, si owner, yang kebetulan duitnya tidak berseri, terus menyuntikan dana ke perusahaan tersebut untuk keperluan operasional (OPEX) hingga jauh melebihi angka 2,5 miliar. 

Semestinya, ketika hal tersebut terjadi, perusahaan perlu membuat akta perubahan atau mungkin saja setoran yang melebihi modal tersebut diakui sebagai utang ke pemegang saham.

Hal tersebut terjadi bukan karena mereka tidak mengetahui konsekuensi dari setoran modal yang melebihi modal dasar, tetapi lebih karena mereka tidak memiliki pembukuan yang andal, yang mampu memisahkan antara uang pribadi owner, kas yang telah disetor owner, dan kas yang diperoleh dari penjualan produk.

Inilah kelemahan pertama pencatatan berbasiskan kas keluar dan kas masuk. Perusahaan tidak tahu pasti nilai dari aset, kewajiban, dan modal pemegang saham. Lebih jauh lagi, akan sulit bagi perusahaan untuk memisahkan uang owner dengan uang yang dimiliki perusahaan (kasus ini lebih sering terjadi bila owner juga menjabat sebagai direktur utama perusahaan).

Sekarang, mari kita rekonstruksi kasus di atas dengan standar akuntansi yang berlaku.

Pada saat owner menyetorkan uangnya ke perusahaan sebesar 1,25 miliar, maka jelas angka tersebut akan menambah nilai kas menjadi 1,25 miliar dan modal sebesar 1,25 miliar.

             Kas  1,25 miliar (D)
                   Modal    1,25 miliar (K)

Kemudian, taruhlah perusahaan menggunakan 400 juta untuk biaya-biaya terkait pendirian awal perusahaan.

             Pendirian 400 juta (D)
                   Kas       400 juta (K)

Maka, hanya dengan melihat informasi kas di neraca, sudah jelas nilai yang tersisa adalah sebesar 850 juta. 

Selanjutnya, untuk menjalankan  proses produksi dan operasional perusahaan, perusahaan mengeluarkan biaya sebesar 500 juta.

             HPP 400 juta (D)
             Gaji  100 juta (D)
                   Kas      500 juta (K)

Maka, sekali lagi, hanya dengan melihat informasi kas di neraca, akan langsung diketahui, nilai yang tersisa adalah sebesar 350 juta. 

Kemudian, perusahaan memperoleh pembayaran atas penjualan produknya secara tunai sebesar 300 juta.

            Kas  300 juta (D)
                   Penjualan    300 juta (K)

Kali ini, informasi kas di neraca akan menunjukkan nilai sebesar 650 juta. Tetapi, angka ini akan terlihat jelas sumber arus kas masuknya, di mana transaksi ini tidak akan mengubah setoran modal pemegang saham di neraca.

Kemudian, asumsikan perusahaan mendapat order dalam jumlah yang luar biasa besar, di mana perusahaan membutuhkan dana sebesar 2 miliar untuk memproduksi pesanan tersebut. Dengan adanya laporan keuangan yang didesain sesuai kaidah akuntansi, bagian keuangan perusahaan tinggal mengecek ke neraca dan secara cepat menyimpulkan bahwa kas perusahaan hanya tersisa 650 juta, sehingga ada kekurangan dana sebesar 1,35 miliar.

Bagian keuangan kemudian tinggal menyampaikan ke direktur utama terkait kondisi tersebut dan membahas beberapa opsi pendanaan, apakah mendapatkan suntikan dana dari pemegang saham ataukah dari kreditur. 

Apabila perusahaan memilih pendanaan berupa suntikan modal dari pemegang saham, maka setelah menerima dananya, bagian keuangan akan menjurnal sbb

            Kas  1,35 miliar (D)
                   Modal  1,35 miliar (K)

Informasi di neraca akan menunjukkan kas sebesar 2 miliar dan modal sebesar 2,6 miliar. 

Perhatikan!

Neraca dapat menjadi alat kendali dengan menginformasikan bahwa setoran modal pemegang saham sudah melewati modal dasar perusahaan, sehingga selanjutnya perusahaan tinggal membahas opsi terkait kelebihan setoran tersebut, apakah akan dilakukan perubahan akta atau mengakui kelebihan tersebut sebagai utang ke pemgang saham.

Peristiwa tersebut pada kenyataannya akan lebih rumit dan melibatkan peristiwa-peristiwa lainnya serta printilan dokumen sebagai sumber pendukung pencatatan. Banyak kekusutan yang terjadi karena perusahaan hanya melakukan pencatatan sederhana berbasis kas masuk dan kas keluar.

Pencatatan pajak dibayar di muka dan utang pajak yang tidak  sesuai kaidah akuntansi

Bayangkan transaksi hingga ratusan atau ribuan kali dalam sebulan, di mana PPh dibayar di muka, seperti PPh 23 maupun pajak pertambahan nilai (PPN) terlibat di dalam transaksi tersebut. 

Dengan pencatatan sederhana berbasiskan kas masuk dan kas keluar, maka perusahaan akan membuat lagi pencatatan tersendiri terkait pajak-pajak tersebut. 

Tidak jarang karena hal ini, saya menemukan perusahaan yang lupa mengreditkan PPN masukannya hingga kadaluarsa ataupun PPh 23 nya yang tidak dikreditkan pada akhir tahun guna meringankan beban pajak perusahaan. 

Belum lagi, kerumitan yang terjadi saat akan melakukan trace back atas transaksi-transaksi yang menimbulkan pajak dibayar di muka tersebut.

Dengan pencatatan menggunakan metode akuntansi, hal tersebut hampir tidak mungkin terjadi. Buktinya akan saya jelaskan pada kasus berikut. 

Asumsikan perusahaan menagihkan invoice atas jasa konsultasi yang telah dilakukan sebesar 500 juta, maka selanjutnya perusahaan akan menjurnal sebagai berikut:

             Piutang      550 juta (D)
                   PPN              50  juta (K)
                   Penjualan      500 juta (K)

Dari jurnal tersebut, piutang dan ppn akan ditambahkan ke neraca, sedangkan penjualan akan ditambahkan ke laba rugi. 

Pada awal bulan berikutnya, ketika bagian keuangan memeriksa neraca, maka akan langsung menemukan kewajiban PPN yang harus disetorkan pada bulan berjalan (PPN paling lambat dibayar tanggal 15 setelah masa pajak berakhir). 

Untuk pajak dibayar di muka atau pada kasus ini PPh 23, kamu dapat membaca penjelasan lengkapnya tulisan saya yang mengenai pergerakan PPh pasal 23 di laporan keuangan.  

Bila sebelumnya membahas pajak dibayar di muka, hal yang sama berlaku juga untuk utang pajak. Pencatatan secara akuntansi dapat memberikan informasi yang jelas sehingga hampir tidak mungkin terlewat pembayarannya.

Contohnya adalah kasus berikut. Perusahaan menggunakan tenaga freelance untuk membuat desain banner keperluan event sebesar 10 juta. Maka, perusahaan akan menjurnalnya sebagai berikut:

             Freelance fee 10 juta (D)
                   PPh 21            250 ribu (K)
                   Kas                 9,75 juta (K)

Dari jurnal tersebut, freelance fee akan masuk ke laba rugi, sedangkan PPh 21 akan menambah utang PPh 21 di neraca sisi kewajiban, dan kas akan mengurangi kas yang tersedia di neraca. 

Pada awal bulan berikutnya, ketika bagian keuangan memeriksa neraca, maka akan langsung menemukan kewajiban PPh 21 yang harus dibayarkan pada bulan berjalan (PPh paling lambat dibayar tanggal 10 setelah masa pajak berakhir).

Pengakuan penjualan yang tidak sesuai kaidah akuntansi

Terkait penjualan dan pembelian, baik PSAK maupun peraturan perpajakan sama-sama menggunakan metode basis akrual, yang artinya penjualan dan pembelian sudah diakui saat terjadinya suatu transaksi, bukan pada saat terjadinya aliran kas masuk dan kas keluar.

Sistem pencatatan berbasis cash in dan cash out jelas akan menimbulkan kerancuan terkait hal ini karena adanya perbedaan pendapatan dan pembelian yang diakui oleh perusahaan dengan yang diakui oleh peraturan perpajakan dan PSAK. 

Implikasi dari hal tersebut adalah adanya potensi perusahaan untuk mengeluarkan uang untuk membayar denda, khususnya terkait kewajiban membayar PPN keluaran seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya.

Penutup

Sebenarnya, masih banyak bukti kejadian betapa tidak andalnya suatu laporan keuangan yang tidak mengikuti kaidah akuntansi yang berlaku umum yang telah saya temui di lapangan. 

Namun, mengingat waktu yang sudah di ujung malam menuju pagi dan juga kebutuhan untuk menjaga tubuh tetap sehat dalam menghadapi virus corona yang meresahkan ini, saya akan menyelesaikan tulisan ini pada tiga contoh yang telah saya shared di atas. 

Stay safe and stay healthy. Take care!

Ardya

Get in touch with me for accounting and financial discussion, training, and services: