Memahami Konsep Value Investing pada Investasi Saham

Value investing merupakan suatu metode pembelian saham yang memfokuskan pada aspek fundamental suatu perusahaan dan juga harga dari saham itu sendiri.
Mungkin kamu pernah mendengar frasa seperti "konservatif," "metode Warren Buffett," "membeli saham dengan rasio harga-keuntungan (P/E ratio) rendah," dan "berorientasi pada hasil jangka panjang" ketika bertanya kepada orang yang terlibat di dunia investasi tentang arti dari value investing.
Jadi, apakah sebenarnya ungkapan-ungkapan tersebut tepat untuk menggambarkan value investing?
Pengertian Value Investing
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya akan menjelaskan definisi value investing secara umum.
Value investing adalah metode penilaian saham suatu perusahaan dengan pendekatan bahwa yang dibeli bukanlah lembaran saham, tetapi lebih ke pendekatan yang menekankan bahwa yang dibeli adalah suatu perusahaan, suatu bisnis, sehingga para investor yang menggunakan pendekatan ini, akan menilai secara komperhensif nilai intrinsik aset perusahaan, serta laba bersihnya saat ini maupun yang akan datang, dan membayar saham suatu perusahaan tidak lebih dari nilainya tersebut."
Dari definisi tersebut, ada beberapa poin penting yang dapat kamu soroti: "membeli bisnis," "nilai intrinsik," dan "membayar saham tidak lebih dari nilai intrinsiknya."
Membeli Suatu Bisnis
Definisi ini tidak membatasi pada jumlah saham yang akan dibeli. Artinya, membeli selembar sahampun dapat diartikan sebagai membeli suatu bisnis, sehingga untuk meenggunakan metode ini tidak perlulah menunggu hingga mampu membeli saham dalam jumlah yang besar.
Saat kamu akan meginvestasikan uang pada suatu bisnis atau usaha, akan banyak sekali aspek-aspek yang kamu analisis, seperti konsep produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan dan bagaimana permintaannya di pasar, strategi dan perencanaan bisnis yang mumpuni untuk meminimalisir risiko-risiko yang terjadi, tata kelola manajemennya, pengelolaan keuangan, optimalisasi struktur modal, serta nilai dari brand perusahaan tersebut.
Sama dengan membeli suatu bisnis, para value investor juga akan membeli saham dengan menganalisis aspek-aspek tersebut secara mendalam. Artinya, fokus mereka ada pada underlying asset dibalik saham-saham yang ingin dibeli, bukan pada pergerakan harian harga pasar saham, seperti naik turunnya IHSG, LQ45, dan indeks-indeks lainnya.
Para pengguna metode ini juga sangat jarang minta pendapat dari broker, komentator saham, dan obrolan ngalor ngidul di chat-room komunitas saham. Alih-alih melakukan hal tersebut, mereka justru sangat concern dengan pendapat orang-orang yang bekerja langsung pada industrinya, para pelanggan, dan para expert yang memahami secara pasti mengenai para pesaing dari perusahaan yang sahamnya sedang dianalisis.
Aspek-aspek fundamental seperti profitability, productivity, dan capital structure, tidak serta merta membuat mereka memutuskan untuk membeli suatu saham, tetapi akan dikaji lebih jauh lagi terkait prospek nilai fundamental tersebut di masa depan, apakah akan tetap atau terus mengalami peningkatan.
Membeli Saham Tidak Lebih dari Nilai Intrinsiknya
Nilai intrinsik mengacu pada nilai aset dan potensi laba bersih yang dapat dihasilkan oleh suatu bisnis.
Dibandingkan dengan melakukan valuasi terhadap nilai properti ataupun barang antik, yang lebih mengandalkan penilaian kepada harga pasar dan harga dari barang sejenis yang sudah terjual, valuasi nilai intrinsik saham akan lebih kompleks, karena seluruh data terkait sales, expenses, assets, liabilities, equity, hingga cash flow tersedia dan terbuka untuk publik, sehingga analisis secara fundamental dapat menghasilkan penilaian yang lebih akurat.
Setelah memastikan nilai intrinsiknya, value investor akan menghubungkan nilai tersebut dengan harga pasarnya, serta memastikan uang yang dikeluarkan untuk mengakuisinya tidak melebihi nilai intrinsik saham tersebut. Suatu logika sederhana yang masuk akal dalam berinvestasi.
Berkaca dari proses membeli saham yang cukup melelahkan dengan menggunakan metode value investing, tentu saja untuk melepas atau menjual saham tersebut, para value investor tidak akan mudah melakukannya, apalagi hanya karena faktor fluktuasi harian harga pasar saham. Hal inilah yang menyebabkan value investing banyak dihubungkan dengan investasi yang berorientasi pada jangka panjang.
Faktor-faktor eksternal, khususnya suku bunga, dapat memengaruhi harga saham, tidak hanya harga pasarnya, namun juga nilai intrinsiknya, karena akan memengaruhi naik turunnya cost of capital atau biaya modal. Selain itu, beberapa faktor eksternal juga akan berpengaruh pada nilai investasi alternatif di luar saham, sehingga meskipun value investor dapat menunggu dalam waktu yang cukup panjang, hingga bertahun-tahun untuk melepas saham pilihannya, value investor dapat juga melepas sahamnya dalam jangka pendek apabila harga pasar saham tersebut sudah jauh melampui nilai intrinsiknya dan mengalihkan investasinya pada instrumen investasi lainnya atau saham-saham yang nilainya masih di bawah nilai intrinsiknya.
Kesalahpahaman Mengenai Value Investing
Jadi, untuk menjawab pertanyaan apakah ungkapan-ungkapan pada awal tulisan ini adalah tepat untuk menggambarkan value investing, maka jawabannya adalah belum tentu!
Value Investor Cenderung Konservatif
Ungkapan ini disematkan kepada para value investor karena fokusnya yang terlalu berlebihan pada prinsip meminimalkan risiko pada segala skenario ekonomi dan memaksimalkan pengembalian kas dalam jangka waktu pendek (dividen).
Meskipun belum menemukan contoh yang tepat pada saham-saham perusahaan di Indonesia, namun mungkin saja perusahaan-perusahaan dengan nilai brand yang luar biasa, posisi yang strategis, dan pertumbuhan yang luar biasa, sahamnya masuk kriteria sebagai saham-saham yang dapat dipilih dengan value investment meskipun tidak rutin membagikan dividen. Jadi, bisa dikatakan seluruh investasi yang konservatif adalah value investments, tetapi tidak seluruh value investments itu konservatif.
Value Investor Membeli Saham yang PER-nya Rendah
BUMI, PNIN, ADMF, ANDI, dll adalah saham dengan price to earning ratio (PER) rendah di bawah rata-rata pasar, tetapi apakah ini berarti saham-saham tersebut memiliki fundamental yang baik, sehingga layak dibeli secara value investment? Tentu tidak!
Jadi, walaupun PER merupakan salah satu alat dalam menyaring saham dengan konsep value investing, tetapi jelas masih banyak aspek fundamental lainnya dan juga tata kelola manajemen yang masih perlu dianalisis dan dikalulasikan sebelum menjadikan saham suatu perusahaan layak untuk dibeli.
Value Investor Berorientasi pada Jangka Panjang
Hal ini memang agak sulit dibantah, karena mindset awal dari value investor sendiri adalah membeli suatu bisnis dengan menemukan suatu saham yang akan di-hold selamanya.
Namun demikian, seiring dengan kemajuan teknologi dan menjamurnya perusahaan-perusahaan startup yang rajin menelurkan inovasi yang mendisrupsi, maka siklus bisnis saat ini menjadi jauh lebih singkat dibanding sepuluh hingga dua puluh tahun yang lalu.
Pernahkan kamu membayangkan perusahaan yang menjadi penengah antara penyedia jasa dengan end user memiliki valuasi berlipat-lipat dibanding perusahaan yang sudah sangat mapan dan menjadi market leader dan bahkan "menghancurkan" bisnis sang market leader tersebut.
Berangkat dari fakta di atas, value investor saat ini, meskipun tetap berpegang teguh pada analisis fundamental dan mindset "buy to hold forever-nya" tetap perlu berhati-hati dengan bisnis dan perubahan pasarnya, serta selalu waspada dan bersiap menjual bisnisnya apabila asumsi-asumsi yang dijadikan dasar pijakannya untuk membeli suatu saham berubah.
Penutup
Value investing merupakan metode yang menekankan pada aspek fundamental perusahaan dan harga sahamnya. Dalam value investing, penting untuk memahami bahwa yang dibeli adalah sebuah bisnis, bukan hanya sekedar lembaran saham. Dengan pendekatan ini, investor secara menyeluruh menilai nilai intrinsik aset perusahaan dan laba bersih saat ini maupun di masa depan. Value investor hanya membayar harga saham tidak lebih dari nilai-nilainya tersebut.
Value investing melibatkan analisis mendalam terhadap aspek fundamental perusahaan seperti profitabilitas, produktivitas, dan struktur modal. Namun, nilai-nilai fundamental tersebut bukanlah satu-satunya alasan untuk membeli saham. Value investor juga mempertimbangkan prospek masa depan dari nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini, mereka lebih cenderung untuk berinvestasi dalam jangka panjang dan tak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi harga saham harian.
Dalam value investing, penting untuk mengetahui bahwa tidak semua investasi yang konservatif adalah value investing. Begitu juga, tidak semua saham dengan rasio harga terhadap laba (P/E ratio) rendah layak untuk diinvestasikan berdasarkan metode ini. Selain itu, value investor juga harus selalu siap untuk beradaptasi dengan perubahan dalam dunia bisnis. Meskipun value investing mendasarkan pada analisis fundamental, investor tetap memperhatikan perkembangan bisnis dan pasar yang dapat memengaruhi keputusannya untuk membeli atau menjual saham.
Sekian tulisan saya mengenai konsep value investing pada investasi saham.
Terima kasih telah membaca.